Adakah anak kecil yang tak suka permen? Konon, otak anak memang telah "terprogram" untuk terobsesi terhadap manisnya permen atau gula-gula. Namun, karakter sulit menghindar atau "menahan keinginan" ini pada satu sisi justru menjadikan anak-anak sebagai makhluk penemu dan pembelajar handal.
Sharon Thompson-Schill, seorang profesor bidang psikologi dari Universitas Pennsylvania, selama 15 tahun meneliti karakter orang dewasa yang punya masalah dalam hal mengingat sesuatu karena kerusakan pada lobus frontal (bagian depan belahan otak besar). Sepanjang masa itu, sang profesor yang juga ahli saraf ini mendapati bahwa apa yang terjadi pada anak kecil (misalnya dalam kaitannya dengan permen tadi) mirip dengan kasus kerusakan lobus depan pada orang dewasa tersebut.
Belajar dan berprilaku tanpa lobus depan otak ini akan berbeda hasilnya dengan aktivitas belajar dan berprilaku dengan lobus depan otak," katanya. Efeknya, lanjut dia, pada anak-anak misalnya akan cenderung impulsif, menentang aturan, dan tidak patuh pada perintah.
Penelitian terdahulu perihal perkembangan otak anak menunjukkan bahwa anak-anak bukanlah "manusia dewasa mini" dan bahwa korteks prefrontal (bagian otak yang berperan dalam kemampuan menilai dan mengambil keputusan), baru akan mencapai tingkat kematangan saat seseorang mencapai usia remaja atau dewasa muda (sekitar usia 21).
Dalam paper yang diterbitkan Current Directions in Psychological Science, Thompson-Schill menyebut penundaan kematangan lobus frontal otak ini sebagai "pikiran tanpa kendali". Pikiran tanpa kendali ini, menurut dia, merupakan hal yang baik untuk anak, kendati kadang membuat orangtua berang atau jengkel.
Menghargai bakat yang tersimpan dalam otak si kecil juga banyak digaungkan, termasuk dalam buku terbaru Alison Gopnik, The Philosophical Baby: What Children's Minds Tell Us About Truth, Love, and the Meaning of Life (Farrar, Straus and Giroux). Gopnik yang merupakan peneliti dari Universitas Washington, menunjukkan bagaimana anak usia prasekolah menggunakan "kecanggihan" otaknya untuk berpikir dan mencermati cara kerja dunia bekerja. Mereka terbukti mampu melakukannya biarpun tanpa panduan guru ataupun media pembelajaran seperti video edukasi dan flashcard.
Anak dengan otaknya yang "beda" dari orang dewasa, juga menjadikan mereka memiliki bakat unik dalam mencipta atau menemukan sesuatu. "Orang dewasa biasanya malah penemu yang buruk," tukas Thompson-Schill.
Dibandingkan anak-anak, orang dewasa biasanya terlalu banyak pertimbangan dalam mencari dan berpikir untuk menemukan sesuatu dan menyaring sisanya. Sebaliknya anak-anak dengan pikirannya yang masih lugu cenderung tidak pernah menyaring apa yang terjadi dalam dunianya seperti yang dilakukan orang dewasa. Mereka bisa menaruh perhatian dan penasaran pada hal apa pun.
Belajar dari pengalaman mengasuh ketiga anaknya saat mereka masih kanak-kanak, Thompson-Schill lebih banyak mengaitkan perilaku anaknya dengan kematangan otak dan bukannya soal ketidakpatuhan atau penentangan dari sang anak. Ia pun menggunakan beberapa trik pendisiplinan anak seperti halnya yang dilakukan terhadap pasien dewasa yang mengalami gangguan lobus frontal tadi.
Ia mengingatkan bahwasanya perilaku anak dipengaruhi lingkungan sekitarnya, bukan semata ditentukan pikiran di benaknya atau nasihat sopan santun yang diajarkan orang tuanya. Jadi, ia berpesan, jika tidak ingin anak Anda terus mengemil permen, jangan biasakan menyimpan permen atau gula-gula di rumah.
Profesor jenius ini juga mengungkapkan trik lainnya. Misalnya, jika ingin anak Anda menjadi pemain sepak bola andal, jangan mengajarkan anak berdasarkan apa yang Anda pelajari. Anak akan lebih banyak belajar jika mereka mencoba mempraktikkannya sendiri dan menilai apa yang telah dilakukannya itu (apakah sudah benar atau belum?). Selanjutnya sebagai pertimbangan dan masukan, barulah orangtua memberi saran semisal teori tentang bermain sepak bola yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar